Internasionalisasi Organisasi Bisnis

Tahukah anda siapa CEO perusahaan mobil Nissan dari Jepang yang bermarkas di Tokyo? Orang Jepang? Bukan. Namanya Carlos Ghosen, orang Brazil yang punya darah Lebanon dan berpendidikan Prancis. Dia memimpin Nissan dari kantor pusatnya di Tokyo. Tokyo yang saya tahu adalah kota metropolitan yang berkultur global, tapi tetap saja dimana-mana tulisan kanji merajalela, dan hampir semua orang tidak berbahasa asing. Tapi tetap saja Ghosen berhasil membalikkan Nissan yang hampir bangkrut menjadi perusahaan mobil terbesar keempat di dunia (setelah gabung menjadi Nissan-Renault). Saya masih sulit membayangkan bagaimana pola komunikasi Ghosen dengan timnya yang sebagian besar berbahasa Inggris amat buruk. Padahal kunci utama keberhasilan seorang pemimpin adalah kemampuannya untuk membangun komunikasi yang baik dengan timnya. Yang menarik, kasus seperti Ghosen terjadi hampir di setiap penjuru dunia saat ini.

More...Bayangkan bagaimana perusahaan Jepang Sony bergabung bersama Ericsson dari Swedia? Kolaborasi ini berhasil menjadikan Sony Ericsson menjadi perusahaan terbesar dunia keempat di bidang telepon seluler. Ingat ketika Daimler Benz yang sombong dari Jerman mengambil alih Chrysler yang juga angkuh dari USA? Bayangkan pula perusahaan "anak bawang" dari Taiwan BenQ mengakuisisi Siemens Mobile dari Jerman. Puluhan manager dikirim BenQ dari Taiwan untuk "mengendalikan" bisnis baru mereka dari tanah ras Aria yang angkuh di Stuttgart. Tahukah anda bahwa manager-manager asal Korea berhasil secara sukses membawa cabang-cabang perusahaan seperti Kia, Hyundai dan Samsung di hampir seluruh penjuru planet ini.

Sebagai orang yang sekian lama bergelut dengan dunia HR dan organization development di perusahaan, saya harus angkat topi tinggi-tinggi pada para ahli strategi dan eksekutif di perusahaan-perusahaan tersebut yang mampu membawa organisasinya ekspansi ke tanah seberang dan melewati masa transisi yang pasti sangat kompleks dan sulit tapi sukses.

Yang paling sulit adalah mengintegrasikan dua kultur (bahkan lebih) dalam satu tim yang solid. Perbedaan kultur antar bangsa sering kali menjadi hambatan terbesar dalam membina komunikasi yang baik. Harus ada suatu strategi integrasi yang benar-benar efektif agar dua organisasi bisnis yang berbeda latar belakang kultural bisa berpadu sinergis. Namun, sejauh pengamatan saya, kesuksesan yang diraih hampir semua karena didukung oleh karakter para manager yang kuat. Para manager yang sukses bekerja di lingkungan kerja internasional selalu telah memiliki karakter yang "agile" dan terbuka, communication skills yang baik serta mampu beradaptasi sangat cepat terhadap tuntutan lingkungannya. Uniknya stereotipe seperti orang Korea dan Jepang yang "kuper" justru saat ini malah berhasil menjadi figur-figur pekerja global yang berhasil, kenapa bisa terjadi?

Itu lah yang perlu coba dikaji lebih dalam. Sebenarnya, sebagai bangsa yang telah "diinvasi" investasi asing sejak lama, Indonesia bisa jadi jauh lebih berpengalaman dalam bergaul dalam organisasi ber-setting internasional dibandingkan orang-orang Korea atau bahkan Malaysia misalnya.

Kita pasti tahu betapa proses globalisasi organisasi juga terjadi secara masif di negeri kita. Yang masih hangat, Sampoerna yang dibeli Phillip Morris, ABC yang dibeli Heinz, Aqua yang diambil Danone, serta contoh klasik keberhasilan integrasi Toyota dengan Astra serta Komatsu dengan Astra di UT. Serta masuknya banyak perusahaan Korea, Taiwan ke bisnis-bisnis manufaktur Indonesia seperti tekstil dan perkayuan di masa-masa awal industrialisasi negeri kita.

Lalu bagaimana secara ke-SDM-an kita harus menyikapi fenomena ini?

Di Amerika, siswa-siswa sekolah telah diperkenalkan sejak dini dengan isu "diversity". Ini adalah isu penting yang dibuka tanpa takut serta diyakini mampu memperbaiki karakter bangsa Amerika yang memang berasal dari berbagai suku bangsa. Mungkin pola ini adalah salah satu kunci keberhasilan Amerika dalam berekspansi bisnis secara global. Indonesia? Berbekal Bhinneka Tunggal Ika, sebenarnya kita juga telah sejak dini dikenalkan dengan wacana "perbedaan" dan "adaptasi". Harusnya pekerja kita adalah juga pekerja yang punya jiwa internasional dalam berkarya. Namun kenapa masih sangat sedikit orang kita yang mampu sukses dalam dunia bisnis internasional?

Kita diskusikan sama-sama.

>> Ditampilkan juga di HRI Blog http://hri.or.id/blog

Posting Komentar

0 Komentar